Fenomena TKI: Para Suami TKI 'Foya-Foya' Dari Gaji Istri

Suwedo (45), Kepala Desa Pekaja, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah, sempat termenung sejenak saat Suswoyo, salah satu pegiat Paguyuban Buruh Migran dan Perempuan “Seruni” Banyumas bertanya tentang kondisi buruh migran di desanya.

Saat ditemui di Kantor Desa, lelaki yang biasa disapa Edo itu menyampaikan rasa kecewa yang luar biasa atas prilaku para suami buruh migran di desanya.

Sang Kepala Desa menilai para lelaki yang ditinggal istrinya ke luar negeri tersebut tidak berbuat amanah. Sementara sang istri menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang, para suami banyak yang menyelewengkan hartanya.

“Memang tidak semua laki-laki yang ditingal istrinya berbuat demikian, tetapi perbuatan negatif mereka cukup menjadikan kesan yang kurang sedap di mata kebanyakan orang.” ujar Kepala Desa dengan ekspresi sangat kecewa.

Suwedo menuturkan, para pria itu, kerap berkumpul bersama di suatu tempat. Karena merasa senasib (baca: ditinggal istri bekerja ke luar negeri), pertemuan mereka sering menjadi asyik. Mirip seperti kelompok arisan, mereka secara bergantian berkumpul dari satu rumah anggota ke rumah anggota yang lain. Terkadang, suatu waktu mereka bersama-sama pergi ke lokasisasi.

Menurut Suwendo uang kiriman istri di luar negeri begitu saja dihambur-hamburkan antar anggota kelompok. Bahkan, mereka juga memiliki tradisi buruk, yakni saling mentraktir minuman keras.

Apa yang disampaikan Kepala Desa Pekaja tersebut bukanlah isapan jempol. Hal ini juga diakui langsung oleh Warsun (32), laki-laki yang ditinggal kerja istrinya di Malaysia.

“Sekadar untuk hiburan mas. Nggak ada istri itu sebenarnya stress.” ujar laki -laki yang foto istrinya menjadi cover buku “Jalan Pulang yang Panjang” karya Sim Chi Yin, jurnalis “The Strait Time”.

Warsun yang sehari-hari bekerja sebagai tukang batu, juga menikmati hidup di komunitas tersebut. Warsun merasa ada yang hilang manakala satu hari saja tidak meminum minuman beralkohol. Baginya minuman terlarang itu adalah hiburan tersendiri untuk mengobati kesendiriannya di tinggal istrinya bekerja di luar negeri. Bagi Kepala Desa seperti Suwedo, perilaku Warsun dan kelompoknya itu menjadi perhatian khusus yang harus segera dicarikan jalan keluar.

“Kami berharap ada lembaga atau apapun yang peduli dengan perilaku masyarakat ini, paling tidak ada semacam pembinaan mental bagi para suami, agar selama ditinggal bekerja di luar negeri oleh istrinya mereka tidak berbuat negatif.” tutur Suwendo.

Keprihatinan serupa juga diungkapkan Narsidah Sanwi, pegiat Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan “Seruni” Banyumas. “Yang jelas sangat memprihatinkan. Satu sisi, istri sedang mencari nafkah untuk perbaikan ekonomi, disisi lain dia (TKI) harus berpisah dengan keluarga (suami).

Seharusnya para suami harus bisa berpikir lebih dalam, harus saling mendukung. Boleh dikatakan istri yang sedang menjadi TKI telah menggantikan peran suami sebagai pencari nafkah utama. Suami yang ditinggalakan bekerja di luar negeri perlu pembekalan tersendiri.” tutur Narsidah.

Fenomena yang terjadi di Desa Pekaja, juga terjadi di tempat lain. Nasirin, seorang ulama di Kecamatan Gumelar, Banyumas, menghimbau kepada pelbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta untuk melakukan pembinaan serius dan intensif pada keluarga buruh migran.

Kyai yang pernah ke Hong Kong atas undangan komunitas buruh migran Hong Kong tersebut juga merasa sangat kaget, manakala banyak lelaki di daerahnya yang sudah sangat mengenal tempat-tempat pelacuran. Sehingga menurut dia perlu sekali adanya penanganan khusus atas munculnya fenomena tersebut.

Miris banget ya, disaat banyak masalah tki yang gajinya tidak dibayar oleh majikan, yang ini malah menghambur-hamburkan uang dari keringat istri yang bekerja banting tulang di negeri orang. Padahal bisa saja si TKI sedang terancam nyawanya.

sumber

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...